Comments

Sabtu, 20 April 2013

Cut Nyak Dien, Sang Ratu Jihad dari Serambi Mekkah ( Nanggroe Aceh Darussalam )


                                                 Cut Nyak Dien " Sang Ratu Jihad"


Dhien hidup di  waktu yang sama dengan Alexandrina Victoria, Ratu Britania Raya. Dhien juga  lahir ketika perang saudara tengah melanda Aceh. Perang yang melibatkan dua  kubu di wilayah VI Mukim dan Meuraksa. Perang akhirnya menjadi bagian yang  tidak terpisahkan hingga maut menjemput usia. Abdul Haris Nasution, Jenderal  Besar Indonesia menyebut Dhien sebagai Ibu Gerilya Indonesia yang berperang  sampai tenaga terakhir (Petrik Matanasi (ed.), 2008: 8).

Dilihat  dari garis keturunannya, Dhien termasuk  dalam Bangsawan Aceh. Ayahnya Teuku Nanta Setia, seorang , sekaligus  keturunan Machmoed Sati, perantau dari Sumatra Barat . Machmoed  Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke-18, dimana Aceh diperintah oleh Sultan  Jamalul Badrul Munir. Sedang Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang  Lampagar (Petrik Matanasi (ed.), 2008: 8).

Hidup sebagai  bangsawan tidak selamanya dirasakan Dhien. Dhien hanya merasakan kenikmatan ini  ketika dia lahir pada 1848 di Lampadang, aceh besar  Lamnga XIII, pecahlah Perang Aceh  pada 26 Maret 1873. Ketika Perang Aceh ini meletus, seruan jihad langsung  melanda seantero Aceh. Praktis sang suamipun harus meninggalkan Dhien untuk  berjihad.

Sepeninggal  sang suami, hidup Dhien senantiasa dilanda kekhawatiran. Bayangan syahidnya  Teuku Ibrahim Lamnga tidak pernah absen mengisi pikiran wanita yang menikah di usia  12 tahun ini. Kekhawatiran tersebut akhirnya menjadi kenyataan ketika Teuku  Ibrahim Lamnga benar-benar syahid pada 29 Juni 1878 di Sela Glee Tarum. Sepeninggal  sang suami, kini Dhien harus hidup berdua dengan anak pertamanya.

Dari kematian  suami pertamanya inilah, Dhien bersumpah untuk melanjutkan perjuangan sang  suami. Dhien pun menyatakan bahwa dia hanya akan menikahi pria yang bisa  menyalurkan sumpahnya ini. Bisa dikatakan, api pemantik terjunnya Dhien di  Perang Aceh bermula dari motivasi pribadinya atas kematian sang suami. Sebuah  motivasi yang dibayar mahal oleh Dhien dengan nyawanya.

Pernikahan  kedua akhirnya dilakukan oleh Dhien. Pria yang menjadi pendamping Dhien ini  bernama Teuku Umar . Pernikahan dilangsungkan pada 1887. Menikahnya Dhien dan Umar berarti  pula terjalin ikatan kuat antara kedua pemimpin perjuangan Aceh. Pernikahan ini  sekaligus memberikan andil untuk meningkatkan moral moral pasukan perlawanan  Aceh. Keduanya bahu-membahu bertempur melawan Belanda,

Cut Nyak Dhien  terjun ke medan pertempuran bersama suami barunya, Teuku Umar. Bersatunya kedua  pemimpin perlawanan ini sempat mengejutkan Belanda di Kutaradja ). Sepakterjang keduanya membuahkan hasil dengan direbutnya kembali  daerah VI Mukim dari tangan Belanda. Dhien kini bisa pulang ke kampung  halamannya untuk membangun rumah tangganya di Lampisang. Rumahnya ini sekaligus  menjadi markas tempat pertemuan para tokoh pejuang dan alim ulama dalam  mengobarkan semangat Prang Sabi.

Dhien juga  sukses meredam prasangka buruk dari rekan seperjuangan ketika Umar bersama 250  pejuang Aceh membelot ke Belanda pada 30 September 1893. Dhien meyakinkan pada  pejuang lainnya seperti Cut Meutia bahwa Umar hanya menjalankan taktik perang.  Keyakinan Dhien terbukti ketika Umar kembali ke kubu pejuang Aceh. Kembalinya  Umar ini disertai pula dengan bertambahnya perlengkapan perang karena Umar  sukses menipu Belanda dengan meminta banyak perlengkapan perang. Praktis  kekuatan pasukan Aceh menjadi lebih ampuh, terutama di sektor Aceh Barat .  Peristiwa ini dikenal dengan Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan  Teuku Umar).

2. Perjuangan

a. Peran Wanita Aceh

Peran para  wanita Aceh dalam Perang Aceh sungguh luar biasa. Dhien membuktikan peran ini  dengan menggadaikan seluruh hidup, kebebasan, kemerdekaan, hingga nyawanya  untuk tanah air tercinta. Kematian sang suami hanya awal bagi srikandi Aceh  ini. Belanda telah membangunkan api kesumat Dhien.

Dhien  sebagaimana wanita Aceh lainnya, mempunyai satu sifat serupa, pantang menyerah.  Sifat ini telah dibuktikan para wanita Aceh sejak lama. Sebagai pendamping  suami –jika telah menikah – wanita Aceh juga pemikul tanggungjawab suami jika  perang mengharuskan kaum laki-laki pergi jihad. “Wanita adalah penjaga nyawa  Aceh,” demikian kata mantan Gubernur Aceh, Ibrahim Hasan.

Figur Seorang Wanita Aceh
Sikap wanita  Aceh ini ternyata terbentuk karena pengaruh Islam yang sangat kuat. Dalil-dalil  Islam dijadikan landasan bagi kaum wanita dalam menentukan sikap. Sejak masa Kesultanan Perlak, Kesultanan Pasai , hingga Aceh Darussalam, Islam telah diambil menjadi dasar negara dan  sumber hukumnya, yaitu Al-Qur‘an, Sunnah, Ijma‘, dan Qiyas. Berdasarkan hukum  inilah, wanita Aceh melandaskan segala tindakannya, termasuk dalam keadaan  perang sekalipun.

Dalam masalah jihad  atau perang menurut Islam, kewajiban pria dan wanita sama, artinya sama-sama  wajib berjihad untuk menegakkan Agama Allah dan membela tanah air. Landasan ini  sesuai dengan hadist:

“ ..... Menurut sebuah Hadist yang  diriwayatkan Imam Bukhari dari seorang sahabat wanita yang mengatakan: “Kami  pergi berperang bersama Rasul Allah, di mana antara lain tugas kami menyediakan  makan dan minum bagi para prajurit; mengembalikan anggota tentara yang syahid  ke Madinah‘.” (Al Hadist riwayat Bukhari)

“ ..... Seorang  sahabat wanita lain berkata: ‘ Kami ikut perang bersama Rasul Allah sampai  tujuh kali, di mana kami merawat prajurit yang luka, menyediakan makanan dan  minuman bagi mereka‘.” (Al Hadist riwayat Bukhari) (A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka Dibawah Pemerintahan Ratu".
Dasar inilah  yang melandasi tekad juang Cut Nyak Dhien dan wanita Aceh lainnya untuk turut  serta dalam Perang Aceh yang mereka anggap sebagai jihad.

Di Perang Aceh  inilah, kemampuan wanita Aceh tidak kalah jika dibandingkan dengan kaum pria. Kemampuan  wanita untuk memimpin, menyusun taktik, hingga turut serta ke medan perang,  telah dibuktikan dengan sejumlah prestasi gemilang. Cut Nyak Dhien sendiri juga  membuktikan hal ini dengan naik sebagai pemimpin perlawanan sepeninggal suami keduanya,  Teuku Umar yang dinikahi pada 1878 (Petrik Matanasi (ed.), 2008: 25).

Gambaran  heroisme wanita Aceh dalam Perang Aceh sempat dituliskan oleh seorang Eropa  bernama H.C. Zentgraaff. Dalam Perang Aceh, Zentgraaff mencatat dengan detail  bagaimana wanita Aceh tetap bertindak sebagai pihak yang tidak mau berkompromi  dengan Belanda. Sebagaimana kaum lelaki yang mengangkat senjata, wanita Aceh  juga berperang dengan jiwa dan raganya.

Zentgraaff menuliskan bahwa:

“Wanita-wanita Aceh yang gagah dan berani merupakan  perwujudan lahiriah dari dendam kesumat yang paling pahit ... perwujudan  jasmaniah watak yang tak kenal menyerah yang setinggi-tingginya, dan apabila  mereka ikut bertempur, maka dilakukannya dengan energi serta semangat berani  mati, yang kebanyakan lebih dari kaum lelakinya. Wanita Aceh adalah pemikul  beban dendam yang membara sampai ke tepi lubang kuburnya, dan sudah di depan maut  sekalipun, dia masih berani meludahi muka si Kaphe (sebutan Kafir dalam Bahasa Aceh). Tak seorang pengarang cerita pun, dapat membuahkan karangan dengan daya fantasi yang berkhayal setinggi  apapun dalam bidang ini, dibandingkan dengan kenyataan yang sungguh-sungguh  terjadi”(H.C. Zentgraaff, 1982/1983: 74).
Pernyataan  Zentgraaff juga dibuktikan oleh Dhien. Dirinya tidak rela menyerah meski  penyakit encok mendera tubuhnya dan matanya nyaris buta. Di akhir petualangan  Dhien dalam melakukan perlawanan, dia sempat mencabut rencong   sebagai tanda pantang menyerah.

Heroisme yang  ditunjukkan oleh Dhien juga ditulis oleh Zentgraaff. Dia kembali menulis  tentang perlawanan Dhien sebagai salah satu anak bangsa Aceh. Menurut  Zentgraaff:

“ ..... Bahwa  tidak ada bangsa yang lebih pemberani perang serta fanatik, dibandingkan dengan  bangsa Aceh; dan kaum wanita Aceh, melebihi kaum wanita bangsa-bangsa lainnya,  dalam keberanian dan tidak gentar mati. Bahkan merekapun melampaui kaum lelaki  Aceh yang sudah dikenal bukanlah lelaki lemah, dalam mempertahankan cita-cita  bangsa dan agama mereka” (H.C. Zentgraaff, 1982/1983: 95)
Inilah  frame Zentgraaff untuk memaknai arti wanita Aceh. Kesimpulan dari analisis  Zentgraaff terpolarisasi dengan penyebutan para wanita Aceh sebagai “de  leidster van het verzet" ” (pemimpin perlawanan) dan “grandes dames" ”  (wanita-wanita besar).

b. Perjuangan Cut Nyak Dhien

Pecahnya  Perang Aceh merupakan akibat dari buntunya proses diplomasi antara Sultan Kerajaan Aceh  Darussalam dengan Komisaris Pemerintah Belanda, Niuwenhuijzen. Belanda  akhirnya mengirimkan surat “pernyataan perang” kepada Kerajaan Aceh Darussalam  tertanggal 26 Maret 1873. Surat ini sampai kepada Sultan Aceh pada 1 April  1873.

Isi  surat pada intinya adalah pernyataan Pemerintah Hindia Belanda yang  berkewajiban untuk memelihara kepentingan umum atas perniagaan dan pelayaran di  Kepulauan Hindia Timur. Niuwenhuijzen berdalih bahwa pemberitahuan kepada  Sultan Aceh telah disampaikan pada 22 dan 24 Maret 1873. Tapi Belanda mengklaim  bahwa pemberitahuan ini tidak mendapat respon dari pihak Sultan Aceh.

Belanda  mengambil kesimpulan bahwa Sultan Aceh menantang Pemerintah Hindia Belanda.  Atas dasar sikap ini pula, Belanda menuduh Sultan Aceh telah melanggar perjanjian  yang mengikat antara Kerajaan Aceh dengan pihak Gubernemen Hindia Belanda pada  30 Maret 1857, tentang perniagaan, perdamaian, dan persahabatan. Belanda  akhirnya memaklumatkan “pernyataan perang” terhadap Kerajaan Aceh Darussalam.

Perang  terjadi tepat ketika Mayor Jenderal Kohler memimpin ekspedisi pertama untuk  menaklukkan Aceh pada 5 April 1873. Pasukan Kohler ini berkekuatan 168 perwira  dan 3.800 serdadu Belanda sewaan (A. Hasjmy, Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup  Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda, 1977: 33). Masuknya Pasukan Kohler membuat rakyat Aceh  bersiap menghadapi perang, termasuk Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertama dari  Cut Nyak Dhien. Beliau merupakan tokoh pejuang di daerah Mukim VI.

Bersama  Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah, Teuku Ibrahim Lamnga bertekad  mempertahankan setiap jengkal tanah Aceh dari serbuan Belanda. Aktifnya Teuku  Ibrahim Lamnga ke garis depan membuat suami-istri ini harus berpisah.Di sinilah perjuangan Cut Nyak Dhien yang  pertama dimulai. Fungsi perlawanan bagi Dhien adalah memberikan semangat juang  pada sang suami kala pulang. Kondisi inilah yang menempa jiwa-raga Cut Nyak  Dhien. Sebuah kondisi yang akan terus dijalani di sisa waktunya.

Pada 8  April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Kohler dan  langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman serta membakarnya. Melihat aksi brutal ini, Cut Nyak Dhien  dengan lantang berkata:

“Hai sekalian  mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu masjid  kita dibakarnya! Mereka Menentang Allah, tempatmu beribadah dibakarnya! Nama  Allah dicemarkan! Camkan itu! Janganlah kita melupakan budi si kaphe yang  serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kaphe serupa?  Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?” (Petrik Matanasi  (ed), 2008: 25)

Masjid Baiturrahman, yang sempat di bakar Belanda saat Perang Aceh
Pembakaran  Masjid Raya Baiturrahman ternyata harus dibayar mahal oleh Kohler. Pada  ekspedisi pertama ini, Kohler tewas. Dia tertembak pada 15 April 1873. (A.  Hasjmy, Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi  Belanda, 1977: 33). Jenasah Kohler sempat dilarikan ke Kapal “Citadel van  Antwerpen”. Tewasnya Kohler berarti menandakan berakhirnya ekspedisi pertama  Belanda ke Aceh.

Gagalnya  ekspedisi pertama membuat Belanda semakin penasaran dengan Aceh. Akhirnya  Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Loudon, mengangkat Letnan Jenderal J. van  Swieten menjadi Panglima Agresi kedua tentara Belanda merangkap Komisaris  Pemerintah Belanda untuk Aceh (Mohammad Said, 1961: 435-436). Atas pengangkatan  ini, pada 6 November 1873 berangkatlah Letnan Jenderal J. van Swieten ke Aceh.  Ekspedisi kedua ini berkekuatan 60 kapal perang yang dilengkapi dengan 206  meriam, 22 mortir, 389 perwira, 7.888 serdadu biasa, 32 perwira dokter, 3.565  orang hukuman laki-laki yang dipaksa untuk berperang, 243 orang hukuman  perempuan, pastor, guru agama, kaki-tangan Belanda seperti Sidi Tahil, Datok  Setia Abuhasan, Mas Sumo Widikdjo, Mohammad Arsyad, Ke Beng Swie, Pie Auw,  Josee Massang, Li Bieng Tjhet, Tjo Gee, Si Diman, Ramasamy, Si Kitab, Ameran,  Malela, dan Said Muhammad bin Abdurrahman Maysore. (Mohammad Said, 1961:  437-439) 

Pada  28 November 1873 ekspedisi kedua di bawah Swieten mendarat di pelabuhan Aceh.  Setelah mendarat, daerah demi daerah berhasil dikuasai Belanda, seperti Pantai  Kuala Lue pada 9 Desember 1873; Kuala Gigieng; Kuala Aceh; Peunayong; Gampong  Jawa; hingga Istana Kerajaan dan Ibukota Negara Banda Aceh. (A. Hasjmy, Apa  Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda,  1977: 37)

Dalam ekspedisi  kedua inilah suami pertama Cut Nyak  Dhien, Teungku Ibrahim Lamnga syahid di Sela Glee Tarum pada 29 Juni 1878.  Mengatahui suaminya syahid, Cut Nyak Dhien bersumpah untuk bertaruh nyawa,  berperang melawan Belanda. Dhien juga bersumpah tidak akan menikah kecuali  dengan pria yang bisa memberikan keleluasaan baginya untuk turut berjuang.

Lelaki  itu akhirnya datang juga. Namanya Teuku Umar. Putra dari Teuku Muhammad.  Awalnya Cut Nyak Dhien menolak menerima lamaran dari Teuku Umar. Tapi kemudian  Cut Nyak Dhien menerima setelah Teuku Umar sanggup untuk mengijinkan Cut Nyak  Dhien ikut serta dalam berjihad. Pernikahanpun akhirnya dilangsungkan pada  1887.

Dwi  tunggal ini kemudian bahu membahu berjihad melawan Belanda. Bersama Teuku Umar,  Dhien melancarkan aksi di Krueng. Tidak hanya di Krueng, dwi tunggal ini juga  sukses membebaskan daerah-daerah yang semula dikuasai Belanda. Bagi Teuku Umar,  Cut Nyak Dhienlah inspirator bagi keberhasilan jihadnya selama ini. Anggapan  ini turut pula dikuatkan oleh Jenderal J.B. van Heutz, bahwa Cut Nyak Dhien  adalah “otak” dari Teuku Umar yang terkenal licin oleh petinggi militer Belanda  di Aceh. (Petrik Matanasi (ed.), 2008: 26)

Suatu  ketika Cut Nyak Dhien dan laskarnya bermukim di daerah Montasik. Tapi malang,  kepada Mukim di daerah ini menyerah pada Belanda. Akibat dari penyerahan ini,  Cut Nyak Dhien harus berpindah tempat. Pada saat inilah, Cut Nyak Dhien  melahirkan putri hasil pernikahannya dengan Teuku Umar. Nama bayi itu Cut  Gambang. Meski sedang dalam keadaan hamil tua dan kemudian melahirkan, Dhien  tetap berjuang bagi bangsanya. Sedang Teuku Umar seringkali harus berpisah dari  istri tercinta.

Perpisahan  yang kedua harus dialami Cut Nyak Dhien. Kali ini menimpa pada Teuku Umar,  suami keduanya. Dalam suatu serangan di Meulaboh pada 11 Februari 1899, Teuku  Umar tertembak Belanda. Dengan sabar, tawakal, serta tabah, Cut Nyak Dhien  menerima kabar buruk ini. Bahkan dihadapan putri semata wayangnya, Cut Nyak  Dhien memberikan pesan: “Wanita Aceh pantang meneteskan air mata untuk  seseorang yang mati syahid.” (Ungkapan ini bisa dilihat dalam dialog Film  “Tjoet Nja‘ Dhien”: 1988)

Sepeninggal  Teuku Umar, Cut Nyak Dhien tetap melanjutkan perang. Dhien memimpin perang di  sektor pertahanan Aceh Besar dan Aceh Barat. Dhien lebih memilih berperang  daripada menyerah kepada Belanda, meski keadaannya sangat memprihatinkan. Pada  awalnya laskar yang dipimpin Cut Nyak Dhien masih cukup banyak. Tapi lama  kelamaan, jumlah ini menyusut juga. Ditambah kondisi alam, persediaan makanan,  dan kesehatan Dhien yang terus memburuk.

Dhien  menjadi kelihatan bertambah tua melebihi umur sebenarnya. Dia tetap bertahan  dengan tabah dan tidak henti-hentinya mengobarkan semangat Prang Sabi pada para  pengikutnya. Iman kuat menjadi pertaruhan besar dalam situasi yang sekarang  mereka hadapi. Hanya ada dua pilihan, takluk pada Belanda dan mendapat  kemewahan atau tetap menderita demi Aceh yang merdeka.

Meski  semangat dalam tubuh Dhien tetap menyala, tapi fisik Dhien tidak bisa menipu.  Lambat laun fisik wanita tua ini sampai batasnya. Dhien menderita rabun yang mengarah  pada kebutaan. Tubuhnya juga mulai terkena penyakit encok yang parah. Saat itu  usianya sudah kepala lima.

Dhien  juga sering menderita kelaparan di dalam hutan, sementara patroli Belanda tidak  henti-hentinya terus mengejar tempat persembunyian Dhien. Pernah suatu kali  selama berminggu-minggu Dhien dan laskarnya tidak menjumpai nasi sebagai  makanan pokok dan harus makan bonggol pisang hutan yang direbus. (Zentgraaff,  1982/1983: 97)

Cut Nyak Dhien, Pang Laot (Ber-Jas Hitam) dan Pengikutnya
Melihat  keadaan Cut Nyak Dhien yang semakin parah, tangan kanan Cut Nyak Dhien bernama  Pang Laot menawarkan pada Dhien untuk menyerah. Sebenarnya tawaran Pang Laot  ini semata-mata adalah sikap tidak tega melihat pemimpinnya harus mengalami  penderitaan tersebut. Padahal sebenarnya Dhien adalah keturunan bangsawan  terpandang. Tapi saran Pang Laot ditolak oleh Dhien. Meski demikian, tanpa  sepengetahuan Dhien, Pang Laot menyusun siasat untuk membocorkan tempat  persembuyian Cut Nyak Dhien kepada Belanda.

Pang  Laot akhirnya menemui Veltman, seorang pemimpin pasukan Belanda. Kedua belah  kubu ini kemudian dijalin suatu perundingan utuk menyerahkan Cut Nyak Dhien.  Pang Laot bersedia menyerahkan Dhien dengan syarat, Cut Nyak Dhien tidak  mendapat hukuman pengasingan setelah ditangkap nantinya. Dhien tidak boleh  keluar dari Tanah Rencong. Syarat kedua, Dhien harus diperlakukan secara  baik-baik, sebagaimana layaknya orang terhormat. Penyakitnya harus diobati.  Veltman setuju dengan syarat ini.

Van Daalen dengan Veltman yang Berada di Sebelah Kirinya

Atas  petunjuk Pang Laot dibawalah pasukan Belanda yang dipimpin Letnan van Vureen ke  tempat persembunyian Cut Nyak Dhien. Di tengah hujan lebat, tempat  persembunyian Dhien di Babah Krueng Manggeng, Aceh Barat dikepung pasukan  Belanda. Meski nyaris tidak bisa berjalan dan mata yang nyaris buta, Dhien  tetap melakukan perlawanan terakhir dengan menghunus rencong menantang pasukan  Belanda. Tapi usaha ini tidak berarti banyak. Dhien akhirnya ditangkap dan dibawa  ke Banda Aceh.

Meski  tertangkap, Belanda secara sadar telah mengakui bahwa Dhien wanita luar biasa.  Meski tenaga Dhien telah banyak berkurang tapi daya juangnya sangat luar biasa  hingga lanjut usia. Bahkan Belanda mengakui bahwa sebenarnya selama ini di  Negeri Belanda sendiri belum pernah mempunyai seorangpun pejuang pahlawan  wanita yang hebat seperti Cut Nyak Dhien.

Di  Banda Aceh Cut Nyak Dhien diperlakukan dengan terhormat. Penyakitnya  disembuhkan, dan boleh menerima tamu. Ternyata animo rakyat Aceh sangat besar  melihat pemimpin mereka ada di Banda Aceh. Beramai-ramai orang Aceh datang  menjenguk Dhien. Penguasa setempat menjadi khawatir benih perlawanan kembali  bersemi.

Timbullah  sebuah keputusan untuk mencabut Dhien dari “akar perjuangan” dan hukuman  pengasingan dikenakan pada Dhien. Belanda mengingkari janji. Atas keputusan  Gubernur Jenderal van Daalen, Dhien diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat. Di  tempat ini Belanda menutup identitas Dhien, sehingga masyarakat sekitar tidak  tahu jika yang diasingkan di Sumedang ini adalah pemimpin perjuangan dari Aceh.  Dhien dikenal sebagai Ibu Perbu (Ibu Ratu).

Di  Sumedang Dhien tetap berjuang dalam bidang agama. Dia mengajari anak-anak  Sumedang belajar mengaji. Dhien sangat hafal Al-Qur‘an dan dari hafalan inilah  Dhien mengajarkan ajaran agama. Meski matanya nyaris buta tapi semangatnya  tidak pernah pupus. Dhien tetap berkarya demi bangsanya. Dia adalah pelita.

Akhirnya srikandi Aceh ini harus  pasrah pada nasibnya. Dhien meninggal pada 6 November 1908 dan dimakamkan di  Gunung Puyuh, sumedang jawa Barat. (Perempuan Aceh Berhati baja).
Makam Cut Nyak Dhien
3. Karya

Cut  Nyak Dhien merupakan sosok wanita yang sanggup memimpin sebuah laskar perang.  Dia sanggup mengemban tugas yang ditinggalkan sang suami, Teuku Umar. Dhien  juga sosok yang berpengaruh kuat atas sepakterjang Teuku Umar. Seperti  dikatakan Jenderal J.B. van Heutz, bahwa Cut Nyak Dhien adalah “otak” dari  Teuku Umar yang terkenal licin oleh petinggi militer Belanda di Aceh. (Petrik  Matanasi (ed.), 2008: 26).

Sosok  Dhien hingga kini dijadikan cerminan bagi wanita, terutama Aceh. Sosok wanita  Aceh yang dulu sangat dihormati dan dikagumi oleh Zentgraaff, dibuktikan dengan  sempurna oleh Dhien sampai akhir hanyatnya.

4. Penghargaan

Perangko Cut Nyak Dhien
Rumah Cut Nyak Dhien di Lam Pisang
Cut  Nyak Dhien ditetapkan sebagai pahlawan kemerdekaan melalui SK Presiden RI  No.106  Tahun 1946 pada 2 mei 1964 . Nama Cut Nyak  Dien diabadikan sebagai nama salah satu kapal perang Angkatan Laut Indonesia,  KRI Cut Nyak Dhien. Mata uang rupiah yang bernilai sebesar Rp. 10.000,00 yang  dikeluarkan tahun 1998 memuat gambar Cut Nyak Dhien dengan deskripsi Tjoet Nja' Djien . Prangko Seri Pahlawan Nasional Cut Nyak Dhien diterbitkan dalam  rangka mengenang 100 tahun meninggalnya pejuang wanita Aceh yang gagah berani  tersebut pada 6 November 1908.
 
Nama Cut Nyak Dhien juga diabadikan sebagai  bandar udara di Nagan Raya ,  Nanggroe Aceh Darussalam dengan nama Bandar Udara Cut Nyak Dhien Nagan Raya.  Rumah Cut Nyak Dhien di Lampisang dipugar pada 1981 dan ditetapkan sebagai  bangunan bersejarah. Selain itu rumah tempat Cut Nyak Dhien diasingkan di Desa  Kaum, Kelurahan Regol Wetan, Kecamatan Sumedang, Jawa Barat, kini dijadikan  museum.  Sebuah masjid Aceh kecil didirikan di dekat makamnya untuk mengenangnya. Namanya  juga diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota di Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.