Bulan
Rabiul Awwal merupakan bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW dilahirkan..
Hampir sebagian umat Islam khususnya di Indonesia merayakan hari lahirnya sang
pembawa cahaya, yang mengeluarkan umatnya dari zaman kegelapan hingga zaman
terang benderang. Kebanyakan umat Islam
merayakannya sebagai ungkapan rasa syukur dan rasa cinta yang begitu besar
kepada Nabi
Muhammad SAW.
Namun, kita juga perlu mengetahui
pernahkah generasi awal merayakan maulid nabi. Yang sudah tentu kita tahu,
bahwa generasi awal (salafussholeh) adalah generasi yang paling dekat dengan
Nabi SAW. Dan mereka yang paling tahu apa yang diingikan dan dilakukan oleh Nabi
Muhammad SAW. Karena meraka selalu hidup berdampingan dengan Nabi SAW sepanjang
hayatnya.
Oleh
karena itu, kita dituntut untuk tahu sejarah awal mula dirayakannya maulid Nabi
SAW. Karena sesuatu perkerjaan yang tidak didasarkan atas ilmu maka akan percuma saja
(tindakan sia sia).
Sebagaimana Rasullah SAW pernah bersabda dalam suatu Hadist
bahwasannya :
“Barangsiapa yang melakukan
suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka perbuatan tersebut
tertolak,” (HR. Muslim).
Ada
beberapa pendapat tentang asal mula maulid Nabi SAW. Pendapat pertama
mengatakan bahwa Sholahuddin Al Ayubi yang pertama kali memulai perayaan maulid
karena melihat kondisi muslimin pada waktu itu semakin jauh dengan sunah-sunah
Rasul,. Sedangkan para tentara salibis setiap saat siap untuk
menyerang pasukan muslimin dalam sekali hantaman. Dan dengan ijtihad beliau
mengadakan maulid Nabi SAW agar menumbuhkan sunah-sunah yang mulai memudar dari
tubuh muslimin dan semangat juang dalam menegakkan agama Allah SWT.
Sedangkan pendapat kedua para ahli sejarah seperti Ibn
Khallikan, Sibth Ibn al-Jauzi, Ibn Kathir, al-Hafizh al-Sakhawi, al-Hafizh
al-Suyuthi dan lainnya telah bersepakat menyatakan bahwa orang yang pertama
kali mengadakan peringatan maulid adalah Sultan al-Muzhaffar, bukan Shalahuddin
al-Ayyubi.
Sebagaimana yang ditulis oleh Ibn
Khallikan dalam kitabnya Wafayat Al-A`yan menceritakan bahwa Al-Imam Al-Hafizh
Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam dan seterusnya ke Irak. Ketika
melintasi daerah Irbil pada tahun 604 Hijriah, beliau mendapati Sultan
Al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan
Maulid Nabi.
Imam Suyuthi dalam kitabnya Husn Al-Maqosid fi Amal
Al-Maulid menerangkan bahwa orang yang pertama kali menyelenggarakan maulid
Nabi adalah Sultan Al-Muzhaffar, penguasa dari negeri Irbil yang terkenal loyal
dan berdedikasi tinggi. Mudzorofah pernah menghadiahkan sepuluh ribu dinar
kepada Syekh Abu Al-Khatib Ibnu Dihyah yang telah berhasil menyusun sebuah buku
riwayat hidup dan risalah Rasulullah dengan judul At-Tanwir fi Maulid Al-Basyir
Al-Nazir.
Pada masa Abbasiyah, sekitar abad kedua belas masehi,
perayaan maulid Nabi dilaksanakan secara resmi yang dibiayai dan difasilitasi
oleh khalifah dengan mengundang penguasa lokal. Acara itu diisi dengan
puji-pujian dan uraian maulid Nabi, serta dilangsungkan dengan pawai akbar
mengelilingi kota diiringi pasukan berkuda dan angkatan bersenjata.
Sedangkan pendapat yang ketiga para ahli sejarah seperti
Al Maqriziy serta mufti mesir Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy dan juga Asy Syaikh
‘Ali Mahfuzh mengatakan bahwa kelompok yang pertama kali mengadakan maulid Nabi
SAW adalah Firqoh sesat Syiah Ubaidiyyun pada dinasti fatimiyah sebagaimana
yang beliau tuliskan pada kitabnya Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’.
Dari beberapa pendapat kita dapat menyimpulkan bahwa
perayaan maulid tidak dilaksanakan di masa Rasulullah dan sahabatnya. Tidak
juga di masa tabi’in, tabi’ut tabi’in dan empat Imam Madzhab (Imam Abu Hanifah,
Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad), padahal mereka adalah orang-orang
yang sangat cinta dan mengagungkan Nabinya. Dan sebaliknya bahwa perayaan
maulid baru dimulai pada masa mamalik (kerajaan) sekitar abad ke-7 Hijriyah di
saat firqoh-firqoh sesat subur berkembang di masa itu.
Peringatan hari maulid Nabi
termasuk dalam hal perkara ijtihadiyah, tidak ada kewajiban maupun tidak ada
larangan untuk melaksanakannya. Para alim ulama pun belum menemukan dalil
tentang kewajiban ataupun larangan memperingati hari maulid Nabi. Bilamana
ingin melakukan perayaan hari maulid Nabi, pastikan tidak ada unsur kegiatan
yang dilarang oleh Al – Quran atau Al – Hadist. Dalam suatu Al – Hadist, Umar
RA pernah meriwayatkan yang artinya berbunyi :
“ Diriwayatkan dari Umar RA, ia berkata : Aku mendengar Nabi SAW
bersabda : Janganlah kamu member penghormatan (memuji / memuliakan) kepada saya
secara berlebihan sebagaimana orang Nasrani yang telah memberi penghormatan
(memuji / memuliakan) kapada Isa putra Maryam. Saya hanyalah hamba Allah SWT,
maka katakan saja hamba Allah dan Rasulnya.” (HR. Al – Bukhori dan Muslim).
Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.