Comments

Rabu, 28 Oktober 2020

SEJARAH PERAYAAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW

 

 



     Bulan Rabiul Awwal merupakan bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW dilahirkan.. Hampir sebagian umat Islam khususnya di Indonesia merayakan hari lahirnya sang pembawa cahaya, yang mengeluarkan umatnya dari zaman kegelapan hingga zaman terang benderang. Kebanyakan umat Islam merayakannya sebagai ungkapan rasa syukur dan rasa cinta yang begitu besar kepada Nabi Muhammad SAW.

     Namun, kita juga perlu mengetahui pernahkah generasi awal merayakan maulid nabi. Yang sudah tentu kita tahu, bahwa generasi awal (salafussholeh) adalah generasi yang paling dekat dengan Nabi SAW. Dan mereka yang paling tahu apa yang diingikan dan dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Karena meraka selalu hidup berdampingan dengan Nabi SAW sepanjang hayatnya.

     Oleh karena itu, kita dituntut untuk tahu sejarah awal mula dirayakannya maulid Nabi SAW. Karena sesuatu perkerjaan yang tidak didasarkan atas ilmu maka akan percuma saja (tindakan sia sia). Sebagaimana Rasullah SAW pernah bersabda dalam suatu Hadist bahwasannya : 

     “Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka perbuatan tersebut tertolak,” (HR. Muslim).

 

     Ada beberapa pendapat tentang asal mula maulid Nabi SAW. Pendapat pertama mengatakan bahwa Sholahuddin Al Ayubi yang pertama kali memulai perayaan maulid karena melihat kondisi muslimin pada waktu itu semakin jauh dengan sunah-sunah Rasul,. Sedangkan para tentara salibis setiap saat siap untuk menyerang pasukan muslimin dalam sekali hantaman. Dan dengan ijtihad beliau mengadakan maulid Nabi SAW agar menumbuhkan sunah-sunah yang mulai memudar dari tubuh muslimin dan semangat juang dalam menegakkan agama Allah SWT.

     Sedangkan pendapat kedua para ahli sejarah seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn al-Jauzi, Ibn Kathir, al-Hafizh al-Sakhawi, al-Hafizh al-Suyuthi dan lainnya telah bersepakat menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Sultan al-Muzhaffar, bukan Shalahuddin al-Ayyubi.

     Sebagaimana yang ditulis oleh Ibn Khallikan dalam kitabnya Wafayat Al-A`yan menceritakan bahwa Al-Imam Al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam dan seterusnya ke Irak. Ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 Hijriah, beliau mendapati Sultan Al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi.

     Imam Suyuthi dalam kitabnya Husn Al-Maqosid fi Amal Al-Maulid menerangkan bahwa orang yang pertama kali menyelenggarakan maulid Nabi adalah Sultan Al-Muzhaffar, penguasa dari negeri Irbil yang terkenal loyal dan berdedikasi tinggi. Mudzorofah pernah menghadiahkan sepuluh ribu dinar kepada Syekh Abu Al-Khatib Ibnu Dihyah yang telah berhasil menyusun sebuah buku riwayat hidup dan risalah Rasulullah dengan judul At-Tanwir fi Maulid Al-Basyir Al-Nazir.

     Pada masa Abbasiyah, sekitar abad kedua belas masehi, perayaan maulid Nabi dilaksanakan secara resmi yang dibiayai dan difasilitasi oleh khalifah dengan mengundang penguasa lokal. Acara itu diisi dengan puji-pujian dan uraian maulid Nabi, serta dilangsungkan dengan pawai akbar mengelilingi kota diiringi pasukan berkuda dan angkatan bersenjata.

     Sedangkan pendapat yang ketiga para ahli sejarah seperti Al Maqriziy serta mufti mesir Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy dan juga Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh mengatakan bahwa kelompok yang pertama kali mengadakan maulid Nabi SAW adalah Firqoh sesat Syiah Ubaidiyyun pada dinasti fatimiyah sebagaimana yang beliau tuliskan pada kitabnya Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’.

     Dari beberapa pendapat kita dapat menyimpulkan bahwa perayaan maulid tidak dilaksanakan di masa Rasulullah dan sahabatnya. Tidak juga di masa tabi’in, tabi’ut tabi’in dan empat Imam Madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad), padahal mereka adalah orang-orang yang sangat cinta dan mengagungkan Nabinya. Dan sebaliknya bahwa perayaan maulid baru dimulai pada masa mamalik (kerajaan) sekitar abad ke-7 Hijriyah di saat firqoh-firqoh sesat subur berkembang di masa itu.

     Peringatan hari maulid Nabi termasuk dalam hal perkara ijtihadiyah, tidak ada kewajiban maupun tidak ada larangan untuk melaksanakannya. Para alim ulama pun belum menemukan dalil tentang kewajiban ataupun larangan memperingati hari maulid Nabi. Bilamana ingin melakukan perayaan hari maulid Nabi, pastikan tidak ada unsur kegiatan yang dilarang oleh Al – Quran atau Al – Hadist. Dalam suatu Al – Hadist, Umar RA pernah meriwayatkan yang artinya berbunyi :                                                                                               

     “ Diriwayatkan dari Umar RA, ia berkata : Aku mendengar Nabi SAW bersabda : Janganlah kamu member penghormatan (memuji / memuliakan) kepada saya secara berlebihan sebagaimana orang Nasrani yang telah memberi penghormatan (memuji / memuliakan) kapada Isa putra Maryam. Saya hanyalah hamba Allah SWT, maka katakan saja hamba Allah dan Rasulnya.” (HR. Al – Bukhori dan Muslim).

Wallahu a’lam.